Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum
Ketua API - Advokat Pengadaan Indonesia
085340100081
“Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; yang penting adalah mengubahnya.”
Karl Marx, Tesis tentang Feuerbach
Ketika Hukum Tak Lagi Turun dari Langit. Hukum sering disakralkan, dijadikan patung perunggu di tengah alun-alun kekuasaan. Ia dipuja sebagai lambang ketertiban dan keadilan, tapi di bawah bayangannya, rakyat kecil sering dibiarkan bersimpuh dalam kekalahan.
Karl Marx menggugat pandangan ini.
Baginya, hukum bukanlah cerminan moral universal, melainkan pantulan dari struktur ekonomi masyarakat. “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaannya sosial yang menentukan kesadarannya.”
(Preface to A Contribution to the Critique of Political Economy, 1859)
Dengan kata lain, hukum tidak lahir di surga ide, melainkan di bumi realitas.
Ia bukan ilham yang turun dari langit, tetapi produk sejarah manusia, dibentuk oleh siapa yang menguasai alat produksi dan siapa yang tidak. Maka, setiap pasal, setiap peraturan, bahkan setiap vonis, memuat aroma ideologi: ada kepentingan yang disembunyikan, ada kekuasaan yang dihaluskan lewat bahasa hukum.
Logika Dialektika: Menangkap Gerak di Balik Pasal, sebagaimana Hegel lebih dahulu memperkenalkan logika dialektika — bahwa kebenaran bergerak melalui kontradiksi: thesis → antithesis → synthesis. Namun bagi Hegel, gerak itu terjadi dalam ide, dalam “roh dunia”.
Marx dan Engels membalikkan Hegel dari kepalanya ke kakinya. Mereka berkata: bukan ide yang bergerak, melainkan realitas material. Dialektika yang sejati adalah dialektika material, bukan ideal. Dalam hukum, dialektika ini tampak jelas. Tesis: hukum menjanjikan keadilan. Antitesis: hukum melayani kekuasaan. Sintesis: hukum menjadi arena perjuangan kelas, tempat rakyat menegosiasikan makna keadilan mereka sendiri.
Evgeny Pashukanis, seorang pemikir hukum Marxis awal abad ke-20, menulis bahwa, “Hukum borjuis lahir dari pertukaran komoditas, dan manusia di dalamnya hanya diakui sebagai pemilik barang, bukan sebagai manusia.”
(The General Theory of Law and Marxism, 1924). Logika hukum kapitalistik, dengan demikian, bukanlah logika kemanusiaan,
melainkan logika nilai tukar. Ia mengukur hak dan keadilan dengan ukuran kepemilikan, bukan kebutuhan.
Praksisme Hukum: Saat Keadilan Menyentuh Daging Manusia. Friedrich Engels pernah menulis bahwa, “Kebenaran bukan dogma, melainkan hasil praksis manusia yang konkret.” (Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy, 1886)
Itulah mengapa dalam materialisme dialektika, teori selalu harus bertemu tindakan. Hukum yang hidup adalah hukum yang menyentuh daging manusia, yang lahir dari penderitaan dan keberanian. Ketika seorang petani menggugat perusahaan yang mencaplok tanah leluhurnya, ketika masyarakat adat menolak sertifikat HGU yang menindas ruang hidupnya, ketika nelayan menolak tambang pasir laut di perairan mereka,
di situlah praksisme hukum bekerja - hukum yang bukan hanya dibaca, tapi diperjuangkan.
“Hukum tidak boleh berhenti pada teks. Ia harus berpihak pada manusia.”
— Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (2008)
Satjipto membawa semangat dialektika ke dalam konteks Nusantara. Baginya, hukum harus hidup, lentur, dan berpihak pada keadilan sosial. Ia bukan kitab mati, tetapi gerak moral yang menolak membiarkan rakyat tertindas atas nama pasal.
Negara, Modal, dan Hukum: Segitiga Kekuatan yang Retak. Negara mengaku berdiri di atas hukum. Namun dalam kenyataannya, hukum sering berdiri di bawah kaki negara dan modal. Antonio Gramsci menyebut hukum sebagai bagian dari hegemoni, yakni alat ideologis yang digunakan kelas penguasa untuk memperoleh kepatuhan tanpa kekerasan. “Hukum adalah ekspresi dari kehendak kolektif yang didominasi oleh kelas berkuasa.” (Selections from the Prison Notebooks, 1932)
Hukum lalu menjadi bahasa yang menenangkan hati rakyat, padahal isinya adalah perintah kekuasaan. Lihatlah bagaimana hukum bekerja di negeri ini: Ketika rakyat menuntut haknya, mereka dianggap mengganggu ketertiban. Ketika korporasi menjarah tanah rakyat, mereka disebut investasi. Ketika aparat memukul demonstran, itu disebut penegakan hukum.
Kontradiksi ini adalah nadi dari dialektika hukum — ia memperlihatkan bagaimana legalitas sering bertentangan dengan legitimasi, bagaimana sesuatu yang “sah” belum tentu “adil”.
Dari “Das Sein” Menuju “Das Sollen” yang Membebaskan. Sebagaimana Dalam logika hukum klasik, ada dua dunia yang dipisahkan: das Sein (kenyataan yang ada) dan das Sollen (apa yang seharusnya). Namun materialisme dialektika menolak pemisahan itu. Yang seharusnya tidak datang dari langit nilai,
melainkan tumbuh dari pergulatan manusia di bumi. Keadilan bukan ide yang melayang, melainkan hasil benturan sosial — seperti baja yang ditempa dari api perjuangan.
Karena itu, praksisme hukum menolak diam di ruang teori. Ia menuntut agar hukum menjadi alat transformasi sosial.
Ia menyerukan agar pengacara, hakim, jaksa, dan rakyat melihat hukum bukan sebagai pagar kekuasaan, melainkan sebagai senjata untuk membebaskan kehidupan.
Membebaskan Hukum dari Penjara Formalisme. Hukum positif sering menjadi penjara formalisme. Ia menutup mata terhadap ketimpangan sosial, menganggap keadilan cukup diukur dengan prosedur dan bunyi pasal. Namun, sebagaimana Marx menegaskan, “Setiap hak hanya sejauh bentuknya, dan bentuk hukum borjuis adalah ketimpangan yang dilegalkan.” (Critique of the Gotha Programme, 1875)
Oleh karena itu, praksisme hukum menghendaki pembebasan hukum dari dirinya sendiri - dari bahasa yang kaku, dari birokrasi yang dingin, dari moral palsu kekuasaan. Hukum yang adil bukan hukum yang sempurna secara teks,
melainkan hukum yang berani berpihak pada penderitaan manusia. Ia harus melampaui dirinya, melahirkan moralitas baru dari bawah, dari mereka yang selama ini dibungkam.
Keadilan yang Tumbuh dari Tanah. Hukum yang hidup adalah hukum yang berdialektika - yang berani menatap luka sosial tanpa takut kotor. Ia bukan monumen yang dibangun di tengah kota, melainkan jalan setapak yang dilalui rakyat dengan kaki telanjang. “Keadilan yang tidak berpihak pada yang tertindas hanyalah topeng kekuasaan.” Catatan akhir seorang advokat rakyat
Materialisme dialektika mengajarkan kita,
bahwa hukum bukan sekadar alat kontrol,
tetapi alat emansipasi, asalkan kita berani mengubahnya melalui praksis sadar. Hukum yang sejati tidak tunduk pada negara, tidak tunduk pada modal,
tetapi tunduk pada kemanusiaan itu sendiri. Dan pada akhirnya, keadilan tidak akan turun dari langit; ia akan tumbuh dari tanah, dari tangan-tangan manusia yang berani menanamnya dengan darah, dengan cinta, dan dengan kesadaran.